Minggu, 12 Desember 2010

Malin Kundang

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang

sumber : http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:cerita-rakyat-malin-kundang&catid=36:cerita-rakyat&Itemid=56

Timun Emas

Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai. 

sumber : http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=45:cerita-dongeng-anak-2&catid=36:cerita-rakyat&Itemid=56

Cindelaras

Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.
 
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.
 
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
 
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu
 
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
 
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

sumber : http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=64:cerita-rakyat-cindelaras&catid=36:cerita-rakyat&Itemid=56

Keong Emas

Di Kerajaan Daha, hiduplah dua orang putri yang sangat cantik jelita. Putri nan cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Kedua putri Raja tersebut hidup sangat bahagia dan serba kecukupan.
Hingga suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh Raja Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati.
Pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri. Kerena dia merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh karena itu Dewi Galuh lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir itu menyihir Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan dari Raden Inu. Nenek Sihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan menyihir Candra Kirana menjadi Keong Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai, tetapi tak mendapat ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk pulang saja, sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja sudah tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya sendiri, siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk mencari ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya. Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang ada ditempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek tersebut memberanikan diri untuk menegur putri nan cantik itu. “Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana asalmu?”, tanya si nenek. "Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh nenek sihir utusan saudaraku karena merasa iri kepadaku", kata keong emas. Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi menjadi Keong Emas, dan nenek sangat terheran-heran.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk itu ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana sedang memasak. Akhirnya sihir dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaan itu. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya beserta nenek yang baik hati tersebut ke istana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu mendapat hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka dia melarikan diri ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapati pun berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya mereka hidup bahagia.

sumber :http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:keong-emas&catid=36:cerita-rakyat&Itemid=56

Jumat, 10 Desember 2010

Legenda Ular n’Daung

Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari perempuan tua itu sakit keras.
Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit apabila tidak diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang dimasak dengan bara gaib dari puncak gunung.
Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu. Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular gaib. Menurut cerita penduduk desa itu, ular tersebut akan memangsa siapa saja yang mencoba mendekati puncak gunung itu.
Diantara ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si bungsu yang menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung kediaman si Ular n’Daung. Benar seperti cerita orang, tempat kediaman ular ini sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi temaram.
Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan raungan yang keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n’Daung mendekati gua kediamannya. Mata ular tersebut menyorot tajam dan lidahnya menjulur-julur.  Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan berkata, “Ular yang keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat untuk ibuku yang sakit. Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, “bara itu akan kuberikan kalau engkau bersedia menjadi isteriku!”
Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya. Maka iapun menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api pulang, ia pun menepati janjinya pada Ular n’Daung. Ia kembali ke gua puncak gunung untuk diperisteri si ular.
Alangkah terkejutnya si bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada malam harinya, ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama Pangeran Abdul Rahman Alamsjah.
Pada pagi harinya ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir oleh pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon raja.
Setelah kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua kakaknya yang sirik. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu. Maka merekapun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam hari.
Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang dilihatnya tetapi lelaki tampan. Timbul perasaan iri  dalam diri mereka. Mereka ingin memfitnah adiknya.
Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka membakar kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan marah dan mengusir adiknya itu. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan pangeran itu dari kutukan.
Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira. Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan sirna kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.
Kemudian, si Ular n’Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.


Sumber: www.seasite.niu.edu

Asal Usul Kota Banyuwangi

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Batu Golog

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”

Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.

Sumber: www.seasite.niu.edu

Lutung Kasarung

Dahulu ada seorang raja yang adil dan bijaksana Prabu Tapa Agung namanya. Beliau dianugrahi tujuh orang putri. Berturut-turut mereka itu adalah Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan si bungsu Purbasari. Ketujuh putri itu sudah menikah remaja dan semuanya cantik-cantik. Yang paling cantik dan paling manis budinya adalah Purbasari. Ia menjadi buah hati seluruh rakyat Kerajaan Pasir Batang.
Putri sulung Purbararang sudah bertunangan dengan Raden Indrajaya, putra salah seorang mentri kerajaan. Kepada Purbararang dan Indrajayalah seharusnya Prabu Tapa Agung dapat mempercayakan kerajaan. Akan tetapi, walaupun beliau sudah lanjut usia dan sudah waktunya turun tahta, beliau belum leluasa untuk menyerahkan mahkota. Karena, baik Purbararang maupun Indrajaya belum dapat beliau percaya sepenuhnya.
Sang Prabu merasa sebagai putri sulung, Perangai Purbararang tidak sesuai dengan yang diharapkan dari seorang pemimpin kerajaan. Purbararang mempunyai sifat angkuh dan kejam, sedangkan Indrajaya adalah seorang pesolek. Bangsawan muda itu akan lebih banyak memikirkan pakaian dan perhiasan dirinya daripada mengurus keamanan dan kesejahteraan rakyat kerajaan.
Menghadapi masalah seperti itu, Prabu Tapa Agung sering bermuram durja. Demikian pula permaisurinya, ibunda ketujuh putri itu. Mereka sering membicarakan masalah itu, tetapi tidak ada jalan keluar yang ditemukan.
Namun, kiranya kerisauan dan kebingungan raja yang baik itu diketahui oleh Sunan Ambu yang bersemayam di kahyangan atau Buana Pada. Pada suatu malam, ketika Prabu Tapa Agung tidur, beliau bermimpi. Di dalam mimpinya itu Sunan Ambu berkata, “Wahai Raja yang baik, janganlah risau. Sudah saatnya kamu beristirahat. Tinggalkanlah istana. Tinggalkanlah tahta kepada putri bungsu Purbasari. Laksanakanlah keinginanmu untuk jadi pertapa.”
Setelah beliau bangun, hilanglah kerisauan beliau. Petunjuk dari khayangan itu benar-benar melegakan hati beliau dan permaisuri.
Keesokan harinya sang Prabu mengumpulkan ketujuh putri beliau, pembantu, penasehat beliau yang setia, yaitu Uwak Batara Lengser, patih, para menteri dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya.
Beliau menyampaikan perintah Sunan Ambu dari Kahyangan bahwa sudah saatnya beliau turun tahta dan menyerahkan kerajaan kepada Putri Purbasari.
Berita itu diterima dengan gembira oleh kebanyakan isi istana, kecuali oeh Purbararang dan Indrajaya. Mereka pura-pura setuju, walaupun didalam hati mereka marah dan mulai mencari akal bagaimana merebut tahta dari Purbasari.
Akal itu segera mereka dapatkan. Sehari setelah ayah bunda mereka tidak berada di istana, Purbararang dengan bantuan Indrajaya menyemburkan boreh, yaitu zat berwara hitam yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan, ke wajah dan badan Purbasari.
Akibatnya Purbasari menjadi hitam kelam dan orang Pasir Batang tidak mengenalinya lagi. Itulah sebabnya putri bungsu itu tidak ada yang menolong ketika diusir dari istana.
Tak ada yang percaya ketika dia mengatakan bahwa ia Purbasari, Ratu Pasir Batang yang baru. Di samping itu, mereka yang tahu dan menduga bahwa gadis hitam kelam itu adalah Purbasari, tidak berani pula menolong.
Mereka takut akan Purbararang yang terkenal kejam. Bahkan Uwak Batara Lengser tidak berdaya mencegah tindakan Purbararang itu.
Ketika ia disuruh membawa Purbasari ke hutan, ia menurut. Akan tetapi setiba di hutan, Uwak Batara Lengser membuatkan gubuk yang kuat bagi putri bungsu itu. Ia pun menasehatinya dengan kata-kata lembut, “Tuan Putri bersabarlah. Jadikanlah pembuangan ini sebagai kesempatan bertapa untuk memohon perlindungan dan kasih sayang para penghuni kahyangan. “Nasehat Uwak Batara Lengser itu mengurangi kesedihan Putri Purbasari. Ia setuju bahwa ia akan melakukan tapa. “Bagus, Tuan Putri. Janganlah khawatir, Uwak akan sering datang kesini menengok dan mengirim persediaan.”
Selagi didunia atau Buana Panca Ttengah terjadi peristiwa pengusiran dan pembuangan Purbasari kedalam hutan, di Kahyangan atau Buana Pada terjadi peristiwa lain.
Berhari-hari Sunan Ambu gelisah karena putranya Guruminda tidak muncul. Maka Sunan Ambu pun meminta para penghuni kahyangan baik pria maupun wanita untuk mencarinya.
Tidak lama kemudian seorang pujangga datang dan memberitakan bahwa Guruminda berada ditaman Kahyangan. Ditambahkan bahwa Guruminda tampak bermuram durja. Sunan Ambu meminta kepada pelayan kahyangan agar Guruminda dipanggil, diminta menghadap.
Agak lama Guruminda tidak memenuhi panggilan itu sehingga ia dipanggil kembali. Akhirnya dia muncul dihadapan ibundanya, Sunan Ambu.
Akan tetapi, ia bertingkah laku lain dari pada biasanya. Ia terus menunduk seakan-akan malu memandang wajah ibunya sendiri. Namun, kalau Sunan Ambu sedang tidak melihat, ia mencuri-curi pandang.
“Guruminda, anakku, apakah yang kau sedihkan?Ceritalah kepada Ibu,” ujar Sunan Ambu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Guruminda tidak menjawab. Demikian pula ketika Sunan Ambu mengulang pertanyaan beliau. Karena Sunan Ambu seorang wanita yang arif, beliau segera menyadari apa yang terjadi dengan putranya.
Beliau berkata, “Ibu sadar, sekarang kau sudah remaja. Usiamu tujuh belas tahun. Adakah bidadari yang menarik hatimu. Katakanlah pada Ibu siapa dia. Nanti Ibu akan memperkenalkanmu kepadanya.” Untuk beberapa lama Guruminda diam saja. “Guruminda, berkatalah, “ujar Sunan Ambu.
Guruminda pun berkata, walaupun perlahan-lahan sekali, “Saya tidak ingin diperkenalkan dengan bidadari manapun, kecuali yang secantik Ibunda,” katanya.
Mendengar perkataan putranya itu Sunan Ambu terkejut. Akan tetapi, sebagai wanita yang arif beliau tidak kehilangan akal apalagi marah. Beliau arif bahwa putranya sedang menghadapi persoalan. Beliau pun berkata, “Guruminda, gadis yang serupa dengan Ibunda tidak ada di Buana Pada ini. Ia berada di Buana Panca Tengah. Pergilah kamu ke sana. Akan tetapi tidak sebagai Guruminda. Kamu harus menyamar sebagai seekor kera atau lutung.”
Setelah Sunan Ambu berkata begitu, berubahlah Guruminda menjadi seekor kera atau lutung. “Pergilah anakku, ke Buana Panca Tengah, kasih sayangku akan selalu bersamamu. Kini namamu Lutung Kasarung.”
Guruminda sangat terkejut dan sedih ketika menyadari bahwa dia sudah menjadi lutung. Ia beranggapan bahwa ia telah dihukum oleh Ibunda Sunan Ambu karena kelancangannya. Ia cuma menunduk. “Pergilah, Anakku. Gadis, itu menunggu disana dan memerlukan bantuanmu.” ujar Sunan Ambu pula.
Guruminda sadar bahwa menjadi lutung adalah sudah nasibnya dan ia pun mengundurkan diri dari hadapan ibundanya. Dengan harapan akan bertemu gadis yang serupa dengan ibundanya, ia meninggalkan Buana Pada. Ia melompat dari awan ke awan hingga akhirnya tiba di bumi. Guruminda mencari tempat yang cocok untuk turun. Ketika melihat sebuah hutan, ia pun melompat ke bumi. Ia melompat dari pohon ke pohon. Lutung-lutung dan monyet-monyet mengelilinginya. Karena mereka menyadari bahwa Guruminda, yang berganti nama menjadi Lutung Kasarung, lebih besar dan cerdas, mereka menerimanya sebagai pemimpin. Demikianlah Lutung Kasarung mengembara di dalam hutan belantara, mencari gadis yang sama cantiknya dengan ibunda Sunan Ambu.
Tersebutlah di kerajaan Pasir Batang, Ratu Purbararang hendak melaksanakan upacara. Dalam upacara itu diperlukan kurban binatang. Ratu Purbararang memanggil Aki Panyumpit. “Aki!” katanya, “Tangkaplah seekor hewan untuk dijadikan kurban dalam upacara. Kalau kamu tidak mendapatkannya nanti siang, kamu sendiri jadi gantinya.”
Dengan ketakutan yang luar biasa Aki Panyumpit tergesa-gesa masuk hutan belantara. Akan tetapi, tidak seekor bajingpun ia temukan. Binatang-binatang sudah diberi tahu oleh Lutung Kasarung agar bersembunyi. Lalu, berjalanlah Aki Panyumpit kian kemari di dalam hutan itu hingga kelelahan.
Ia pun duduk dibawah pohon dan menangis karena putus asa. Pada saat itulah Lutung Kasarung turun dari pohon dan duduk dihadapan Aki Panyumpit. Aki Panyumpit segera mengambil sumpitnya dan membidik kearah Lutung Kasarung.
Namun Lutung Kasarung berkata, “Janganlah menyumpit saya karena saya tidak akan mengganggumu. Saya datang kesini karena melihat kakek bersedih.”
Aki Panyumpit terkejut mendengar lutung dapat berbicara. “Mengapa kakek bersedih?” tanya Lutung Kasarung.
Ditanya demikian, Aki Panyumpit menceritakan apa yang dialaminya. “Kalau begitu bawalah saya ke istana,kakek,” ujar Lutung Kasarung.
“Tetapi kamu akan dijadikan kurban!” kata Aki Panyumpit yang menyukai Lutung Kasarung.
“Saya tidak rela kamu dijadikan kurban,” lanjut Aki Pannyumpit.
“Tetapi kalau kakek tidak berhasil membawa hewan, kakek sendiri yang akan disembelih sebagai kurban,” jawab Lutung Kasarung.
Aki Panyumpit tidak dapat berkata-kata lagi karena bingung.
“Oleh karena itu, bawalah saya ke istana. Janganlah khawatir,” Kata Lutung Kasarung.
“Baiklah, kalau begitu”, kata Aki Panyumpit. Mereka pun keluar dari hutan menuju kerajaan Pasir Batang.
Setiba di alun-alun kerajaan, beberapa prajurit memegang dan mengikat Lutung Kasarung. Prajurit lain mengasah pisau untuk menyembelihnya.
Lutung Kasarung yang sudah di ikat dibawa ketengah alun-alun. Di sana Purbararang dan Indrajaya serta para pembesar kerajaan sudah hadir. Demikian pula lima putri adik-adik Purbararang.
Saat itu segala perlengkapaan upacara sudah disiapkan. Seorang pendeta sudah mulai menyalakan kemenyan dan berdoa. Seorang prajurit dengan pisau yang sangat tajam berjalan akan melaksanakan tugasnya. Ia memegang kepala Lutung Kasarung. Akan tetapi, tiba-tiba Lutung Kasarung menggeliat.
Tambang-tambang ijuk yang mengikat tubuhnya satu persatu mulai putus dan kemudian Ia pun bebas. Ia lalu memporak-porandakan perlengkapan upacara. Para putri dan wanita-wanita bangsawan menjerit ketakutan. Para prajurit mencabut senjata dan berusaha membunuh Lutung Kasarung. Namun, tidak seorang pun sanggup mendekatinya.
Lutung Kasarung sangat lincah dan tangkas. Ia melompat- lompat kesana kemari, di tengah-tengah hadirin yang berlari menyelamatkan diri.
Lutung Kasarung sengaja merusak barang-barang dan perlengkapan. Di melompat ke panggung tempat para putri menenun dan merusak perlengkapan tenun.
Setelah hadirin melarikan diri dan prajurit-prajurit kelelahan, Lutung Kasarung duduk di atas benteng yang mengelilingi halaman dalam istana .
Dari dalam istana, Purbararang dan adik-adiknya memandanginya dengan keheranan dan ketakutan. Indrajaya ada pula disana, ikut sembunyi dengan putri-putri dan para wanita.
Purbararang kemudian menjadi marah, “Bunuh! Ayo bunuh lutung itu!” teriaknya. Beberapa orang prajurit maju akan mengepung Lutung Kasarung lagi. Akan tetapi, Lutung Kasarung segera menyerang mereka dan membuat mereka lari ketakutan ke berbagai arah.
Uwak Batara Lengser adalah orang tua yang bijaksana, walaupun sudah tua tetap gagah berani. Ia berjalan menuju Lutung Kasarung dan berdiri di dekatnya. Ternyata, Lutung Kasarung tidak memperlihatkan sikap permusuhan kepadanya. “Kemarilah Lutung, janganlah kamu nakal dan menakut-nakuti orang, kamu anak yang baik.”
Pada saat itu beberapa orang prajurit mencoba menyergap Lutung Kasarung. Namun, Lutung Kasarung selalu waspada. Ia menyerang balik, mencakar, dan menggigit mereka. Mereka tunggang langgang melarikan diri dan tidak berani muncul kembali. Setelah itu Lutung Kasarung kembali kepada Uwak Batara Lengser dan seperti seorang anak yang baik, duduk didekat kaki orang tua itu.
Purbararang yang melihat pemandangan itu dari jauh, timbul niat jahatnya. Lutung yang besar dan jahat itu sebaiknya dikirim kehutan tempat Purbasari berada, pikirnya. Kalau Purbasari tewas diterkam lutung itu, maka ia akan tenang menduduki tahta Kerajaan Pasir Batang. Cara mengirim lutung itu tampaknya dapat dilaksanakan melalui Uwak Batara Lengser karena lutung itu tidak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Uwak Batara Lengser.
Berkatalah Purbararang kepada Uwak Batara Lengser, meminta orang tua itu mendekat. Orang tua itu menurut, “Uwak Batara Lengser, singkirkan lutung galak itu kehutan. Tempatkan bersama Purbasari. Kalau sudah jinak, kita kurbankan nanti.” Uwak Batara Lengser tahu maksud Purbararang, tetapi ia menurut saja. Ia pun tidak yakin apakah lutung itu akan mencederai Purbasaari. Ia melihat sesuatu yang aneh pada lutung itu. Itulah sebabnya ia mengulurkan tangan pada lutung itu sambil berkata, “Marilah kita pergi, lutung. Kamu saya bawa ketempat yang lebih cocok bagimu.” Lutung itu menurut. Uwak Batara Lengser pun menuntunnya meninggalkan tempat itu dan menuju ke hutan.
Sampai di hutan, Uwak Batara Lengser berseru kepada Purbasari memberitahukan kedatangannya. Purbasari keluar dari gubuk dengan gembira. Lutung Kasarung melihat seorang gadis yang kulitnya hitam kelam di celup boreh. Ia tertegun sejenak sehingga Uwak Batara Lengser berkata kepadanya, “Itu Putri Purbasari. Ia gadis yang manis dan baik hati. Kamu harus menjaganya.”
“Ya,” kata Lutung Kasarung.
Uwak Batara Lengser dan Purbasari keheranan. Akan tetapi, Uwak Batara Lengser berkata, “Semoga kedatanganmu ke Pasir Batang dikirim Kahyangan untuk kebaikan semua.”
Setelah Uwak Batara Lengser pergi, Lutung Kasarung meminta bantuan kawan-kawannya untuk mengumpulkan buah-buahan dan bunga-bungaan untuk Purbasari. Putri itu benar-benar terhibur dalam kesedihannya. Ia pun tidak kesunyian lagi. Bukan saja Lutung Kasarung selalu ada didekatnya, tetapi binatang-binatang lain seperti rusa, bajing, dan burung-burung berbagai jenis, berkumpul dekat gubuknya.
Ketika malam tiba, Lutung Kasarung berdoa, memohon kepada Ibunda Sunan Ambu agar membantunya. Sunan Ambu mendengar doanya dan memerintahkan kepada beberapa orang pujangga dan pohaci agar turun ke bumi untuk membantu Lutung Kasarung.
Ketika para pujangga tiba dihutan itu, Lutung Kasarung meminta kepada mereka agar dibuatkan tempat mandi bagi Purbasari. Para pujangga yang sakti itu membantu Lutung Kasarung membuat jamban salaka, tempat mandi dengan pancuran emas dan lantai serta dinding pualam. Airnya dialirkan dari mata air yang jernih yang ditampung dulu dalam telaga kecil. Ke dalam telaga kecil itu ditaburkan berbagai bunga-bungaan yang wangi. Sementara itu para pohaci menyiapkan pakaian bagi Purbasari. Pakaian itu bahannya dari awan dan warnanya dari pelangi. Tak ada pakaian seindah itu di bumi.
Keesokan harinya Purbasari sangat terkejut melihat Jamban Salaka itu. Akan tetapi, Lutung Kasarung mengatakan kapadanya bahwa ia tidak perlu heran. Kabaikan hati Purbasari telah menimbulkan kasih sayang Kahyangan kepadanya.
“Jamban Salaka dan pakaian yang tersedia di dalamnya adalah hadiah dari Buana Pada bagi Tuan Putri,” kata Lutung Kasarung
“Kau sendiri adalah hadiah dari Buana Pada bagiku, Lutung,” kata Purbasari, lalu memasuki Jamban Salaka. Ternyata, air di Jamban Salaka memiliki khasiat yang tidak ada pada air biasa dipergunakan Purbasari.
Ketika air itu dibilaskan, hanyutlah boreh dari kulit Purbasari. Kulitnya yang kuning langsat muncul kembali bahkan lebih cemerlang. Dalam kegembiraannya, Purbasari tidak putus-putusnya mengucapkan syukur kepada Kahyangan yang telah mengasihinya.
Selesai mandi, ia mengambil pakaian buatan para pohaci. Ia terpesona oleh keindahan pakaian yang dilengkapi perhiasan-perhiasan yang indah. Ia pun segera mengenakannya, lalu keluar dari Jamban Salaka. ‘Lutung lihatlah!. Apakah pakaian ini cocok bagiku?”
Lutung Kasarung sendiri terpesona. Dalam hatinya ia berkata, “Putri Purbasari, engkau seperti kembaran Ibunda Sunan Ambu, hanya jauh lebih muda.”
“Lutung, pantaskah pakaian ini bagiku?” tanya Purbasari pula.
“Para pohaci mencocokkannya bagi tuan putri,” jawab Lutung Kasarung seraya bersyukur dalam hatinya dan memuji kebijaksanaan Ibunda Sunan Ambu.
Peristiwa didalam hutan itu akhirnya terdengar oleh Purbararang. Rakyat Kerajaan Pasir Batang yang biasa mencari buah-buahan atau berburu kehutan membawa kabar aneh. Mereka bercerita tentang hutan yang berubah menjadi taman, tentang gubuk gadis hitam yang berubah menjadi istana kecil, tentang tempat mandi yang sangat indah, dan pimpinan seekor lutung yang sangat besar. Seekor lutung besar menyebabkan mereka tidak berani memasuki taman itu.
Kabar aneh itu sampai juga ke telinga Purbararang. Ia menduga ada bangsawan-bangsawan Pasir Batang yang diam-diam membantu Purbasari. Ia pun menjadi marah dan berpikir mencari jalan untuk mencelakakan Purbasari. Ia segera menemukan jalan untuk mecelakakan adik bungsunya itu.
Purbararang berpendapat bahwa para bangsawan Pasir Batang yang berpihak pada Purbasari tidak akan berani membantu adiknya itu secara terang-terangan. Oleh karena itu, Purbasari harus ditantang dalam pertandingan terbuka.
Para bangsawan dapat membuatkan Purbasari taman, istana kecil, dan Jamban Salaka. Itu mereka lakukan sembunyi-sembunyi dalam waktu yang lama, pikir Purbararang. Kalau Purbasari diharuskan membuat huma dalam satu hari seluas lima ratus depa, tak ada yang berani atau dapat membantunya. Ia sendiri dengan mudah akan dapat membuka huma ribuan depa dengan bantuan para prajurit.
Maka ia pun memanggil Uwak Batara Lengser dan berkata, “Uwak, berangkatlah ke hutan. Sampaikan pada Purbasari bahwa saya menantangnya berlomba membuat huma. Purbasari harus membuat huma seluas lima ratus depa dan harus selesai sebelum fajar besok. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, atau tidak dapat mendahului saya maka ia akan dihukum pancung.”
Uwak Batara Lengser segera pergi kehutan. Ia disambut oleh Purbasari dan Lutung Kasarung. Ketika mendengar berita yang menakutkan itu, Purbasari pun menangis. ‘Kalau nasib saya harus mati muda, saya rela. Yang menyebabkan saya menangis adalah tindakan kakanda Purbararang. Begitu besarkah kebenciannya kepada saya?”
Lutung Kasarung berkata, “Jangan khawatir Tuan Putri, Kahiangan tidak akan melupakan orang yang tidak bersalah.”
Sementara ketiga sahabat itu sedang berbicara didalam hutan, Purbararang tidak menyia-nyiakan waktu. Ia memanggil seratus orang prajurit dan memerintahkan agar mereka membuka hutan untuk huma didekat tempat tinggal Purbasari. Huma harus selesai keesokan harinya. Kalau tidak selesai, para prajurit itu akan dihukum pancung. Para prajurit yang ketakutan segera berangkat ke hutan dan langsung bekerja keras membuka hutan. Mereka terus bekerja walaupun malam turun dan mulai gelap. Mereka terpaksa menggunakan obor yang banyak jumlahnya.
Sementara itu Lutung Kasarung mempersilahkan Purbasari masuk kedalam istana kcilnya untuk beristirahat. “Serahkanlah pekerjaan membuat huma itu kepada saya, Tuan Putri,’ katanya.
Ketika Purbasari sudah masuk kedalam istana kecilnya, Lutung Kasarung segera berdoa, memohon bantuan Ibunda Sunan Ambu dari Buana Pada. Doanya didengar dan Sunan Ambu mengutus empat puluh orang pujangga untuk membuat huma. Lahan yang dipilih adalah sebidang huma yag sudah terbuka dan cocok untuk ditanami padi. Huma itu letaknya tidak jauh dari hutan yang sedang dibuka oleh prajurit-prajurit Pasir Batang.
Keesokan harinya ketika matahari terbit, berangkatlah rombongan dari istana Pasir Batang menuju hutan. Purbararang duduk diatas tandu yang dihiasi sutra dan permata yang gemerlapan. Sementara itu tunangannya, Indrajaya, menunggang kuda di sampingnya. Lima orang putri bersaudara ada pula dalam rombongan bersama sejumlah bangsawan. Ratusan prajurit mengawal. Tak ketinggalan seorang algojo dengan kapak besarnya. Purbararang yakin bahwa hari itu ia akan dapat menghukum pancung adiknya, Purbasari. Akan tetapi, ia dan rombongan terkejut sebab disamping huma yang dibuka para prajurit telah ada pula huma lain yang lebih bagus.
Di tengah huma itu berdiri Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung. “Gusti Ratu,” kata Uwak Batara Lengser, “Inilah huma Putri Purbasari.”
Purbararang benar-benar kecewa, malu,dan marah. Ia berteriak, “Baik, tetapi sekarang saya menantang Purbasari bertanding kecantikan denganku. Kalian yang menilai,” katanya seraya berpaling pada khalayak.
Purbararang menyangka Purbasari masih hitam kelam karena boreh. “Uwak, suruh dia keluar dari rumahnya!”
Uwak Batara Lengser mempersilahkan Purbasari keluar dari istana kecilnya. Purbasari muncul dan orang-orang memadangnya dengan takjub. Banyak yang lupa bernapas dan berkedip. Banyak pula yang lupa menutup mulutnya.
Begitu cantiknya Purbasari sehingga seorang bangsawan berkata, “Saya seakan-akan melihat Sunan Ambu turun ke Bumi.”
Melihat hal itu mula-mula Purbararang kecut. Akan tetapi dia ingat, bahwa dia masih punya harapan untuk menang. Ia berteriak, “Purbasari, marilah kita bertanding rambut. Siapa yang lebih panjang, dia menang. Lepas sanggulmu!” Sambil berkata begitu Purbararang berdiri dan melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat terurai hingga kepertengahan betisnya.
Purbasari terpaksa menurut. Ia pun melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam berkilat dan halus bagai sutra bergelombang bagaikan air terjun hingga ketumitnya. Purbararang terpukul kembali. Akan tetapi, dia tidak kehabisan akal. Ia ingat bahwa ia mempunyai pinggang yang sangat ramping.. Ia berkata, “Lihat semua. Ikat pinggang yang kupakai ini bersisa lima lubang. Kalau Purbasari menyisakan kurang dari lima lubang, ia dihukum pancung.” Seraya berkata begitu ia melepas ikat pinggang emas bertahta permata dan melemparkannya kepada Purbasari. Purbasari memakainya dan ternyata tersisa tujuh lubang
.
Sekarang Purbararang menjadi kalap. Ia berteriak, “Hai orang-orang Pasir Batang, masih ada satu pertandingan yang tidak mungkin dimenangkan oleh Purbasari. Pertandingan apa itu? Coba tebak!” katanya seraya melihat wajah-wajah bangsawan Pasir Batang yang berdiri didekatnya. Ia tertawa karena yakin ia akan menang dalam pertandingan terakhir ini.
“Pertandingan apa, Kakanda?” kata salah seorang di antara adiknya.
Purbararang tersenyum. “Dengarkan!” katanya pula, “Dalam pertandingan ini kalian harus membandingkan siapa di antara calon suami kami yang lebih tampan. Lihat kepada tunangan saya, Indrajaya. Bagaimana pendapat kalian? Tampankah ia?”
Untuk beberapa lama tidak ada yang menjawab. Mereka bingung dan terkejut. Purbararang membentak, “Jawab! Tampankah dia?” Orang-orang menjawab, “Tampan, Gusti Ratu!” Purbararang tidak puas, “Lebih nyaring!”
“Tampan Gusti Ratu!”
Sambil tersenyum Purbararang melihat kearah Purbasari yang berdiri dekat Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung. “Dengarkanlah, Purbasari. Sekarang kamu tidak bisa lolos. Kita akan bertanding membandingkan ketampanan calon suami. Calon suamiku adalah Indrajaya yang tampan dan gagah itu. Siapakah calon suamimu itu?” Purbasari kebingungan. “Siapa lagi calon suamimu kecuali lutung besar itu?” teriak Purbararang seraya menunjuk ke arah Lutung Kasarung. Lalu ia tertawa.
Purbasari terdiam. Ia memandang ke arah Lutung Kasarung. Semuanya terdiam. Algojo melangkah ke arah Purbasari seraya memutar-mutar kapaknya yang lebar dan tebal. Seraya memandang ke arah Lutung Kasarung dan sambil tersenyum sayu Purbasari berkata, “Memang seharusnya kamu menjadi calon suamiku, Lutung.”
Mendengar apa yang diucapkan Purbasari itu gembiralah Purbararang. Sekarang ia dapat membinasakan Purbasari. Akan tetapi, sesuatu terjadi. Mendengar perkataan Purbasari itu, Lutung Kasarung berubah, kembali ke asalnya sebagai Guruminda yang gagah dan tampan. Semua terheran-heran dan terpesona oleh ketampanan Guruminda. Guruminda sendiri memegang tangan Purbasari dan berkata, “Ratu kalian yang sebenarnya, Purbasari, telah mengatakan bahwa saya sudah seharusnya menjadi calon suaminya. Sebagai calon suaminya, saya harus melindungi dan membantunya. Tahtanya telah direbut oleh Purbararang. Sebagai tunangan Purbararang, Anda harus berada di pihaknya, Indrajaya. Oleh karena itu, marilah kita berperang tanding.”
Indrajaya bukannya siap berperang tanding, tetapi malah berlutut dan menyembah kepada Guruminda, mohon ampun dan dikasihani. Purbararang menangis dan minta maaf kepada Purbasari. Sementara itu para bangsawan dan prajurit serta rakyat justru bergembira. Mereka akan bebas dari ketakutan dan tekanan para pendukung Purbararang.
Pada hari itu juga Ratu purbasari kembali ke Kerajaan didampingi oleh suaminya, Guruminda. Purbararang dan Indrajaya dihukum dan dipekerjakan sebagai tukang sapu di taman istana. Rakyat merasa lega. Mereka kembali bekerja dengan rajin seperti di jaman pemerintahan Prabu Tapa Agung. Berkat bantuan Guruminda, Purbasari memerintah dengan cakap dan sangat bijaksana. Rakyat Kerajaan Pasir Batang merasa terlindungi, suasana aman dan tentram sehingga mereka bisa bekerja dengan tenang pada akhirnya kemakmuran dapat mereka peroleh secara nyata dan merata.

Sumber : bali-directory.com

Asal Usul Sawah Lunto

Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.
Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.
Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.
Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.
Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa.
Maka tibalah hari H pertempuran, kerajaan Sitambago telah dikepung, tentara dan penduduk kerajaan Sitambago jadi panik, ruang gerak semakin sempit. Melihat kepanikan tersebut, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan korban yang banyak, Panglima Paligan Alam menyerukan supaya Raja Sitambago beserta tentara dan rakyatnya menyerah, namun seruan niat baik Panglima Paligan Alam itu tidak digubris sedikitpun oleh Raja Sitambago, malahan Raja Sitambago siap untuk berperang, terbukti dihimpunnya balatentara dengan jumlah yang besar dan dikibarkannya bendera perang, pasukan langsung dipimpin oleh Raja Sitambago dengan gagah berani dan terjadilah pertempuran yang sengit.
Secara perdana, untuk jolong-jolong kalinya tentara Silungkang / Padang Sibusuk mempergunakan senjata api SETENGGA, suara letusan senjata SETENGGA menggelegar dan balatentara beserta penduduk kerajaan Sitambago baru kali ini mendengar letusan yang dahsyat serta membuat ciut hati mereka. Banyak tentara dan penduduk kerajaan Sitambago yang tewas akibat peluru SETENGGA, termasuk Raja Sitambago tersungkur bersimbah darah terkena tembakan senjata SETENGGA yang kemudian senjata tersebut dinamakan oleh mereka senjata HANTU TOPAN. Tentara dan penduduk kerajaan Sitambago mundur dan lari kocar-kacir meninggalkan wilayahnya, pusat kerajaan dan kemudian dikuasai oleh balatentara Panglima Paligan Alam.
Setelah perang usai, balatentara Silungkang / Padang Sibusuk dan Kubang yang dipimpin oleh Panglima Paligan Alam kembali ke nagari masing-masing, sedangkan wilayah pusat kerajaan Sitambago (kota Sawahlunto sekarang) terbiar begitu saja. lahan yang terbiar dan terlantar itu dimanfaatkan oleh anak nagari Lunto untuk bercocok tanam, dibuatlah persawahan, sehingga wilayah tersebut menjadi SAWAH yang digarap oleh orang LUNTO. Sementara kepemilikan dan hak tanah tetap berada pada anak nagari Silungkang / Padang Sibusuk dan anak nagari Kubang yang telah memenangi peperangan dengan kerajaan Sitambago.

sumber :  http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=5

Asal Usul Danau Maninjau

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”


“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”


“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat


sumber :  http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=5

Asal Usul Danau Lipan

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.
Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.
Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.
Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.
Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, “Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing.”
Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.
Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.
Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.
Putri pun segera makan sirih seraya berucap, “Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya.” Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.
Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.
Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

sumber : http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/budaya_bangsa/Cerita_Rakyat/default.htm

Cindua Mato

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.

Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkimpoian yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.
Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.
Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau Perca.
Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi Pagaruyung.
Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari ancaman.
Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.
Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.
Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang Alam.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.

sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=5